Friday 22 June 2012

PENDIDIKAN JEPANG YANG EGALITARIAN

Ai Sumirah Setiawati 

A. PENDAHULUAN
Egalitarianism berasal dari bahasa Prancis égal, yang berarti equal dalam bahasa Inggris atau dalam bahasa Indonesia berarti sama, setara atau sederajat. Dalam doktrin politik dinyatakan bahwa semua manusia harus diperlakukan sama sejak ia lahir. Setiap manusia memiliki hak yang ”sama” untuk mendapat perlakuan yang adil.
Dalam bahasa Jepang, egalitarian disebut sebagai byoudoushugi yang merupakan istilah yang bisaa dipakai dalam agama Budha.
Egalitaran dalam pendidikan, bahwa sekolah jangan menjadi tempat berkumpul kelas masyarakat tertentu seperti hanya anak-anak orang kaya dan pejabat, tetapi lapisan masyarakat tak mampu juga harus mendapat tempat.
Dalam dunia pendidikan di Jepang tema-tema egalitarian muncul pada masa setelah Perang Dunia II (PD II).
Pada masa pendidikan dengan sistem lama, negara Jepang telah mencantumkan dalam undang-undang tentang kewajiban sekolah dengan tujuan menghapuskan tingkat kebutahurufan. Meskipun demikian, dalam beberapa hal masih ada keterbatasan-keterbatasan masyarakatnya untuk mendapatkan pendidikan. Contohnya, kurikulum buat siswa perempuan menekankan pada kepandaian rumah tangga seperti memasak, menjahit, dan merangkai bunga. Setelah tamat sekolah wajib mereka tidak didorong untuk masuk perguruan yang lebih tinggi. Perguruan yang terbuka bagi mereka tidak sederajat dengan perguruan tinggi bagi laki-laki.
Contoh berikutnya yaitu ada peraturan yang mempersulit murid tamatan sekolah swasta turut ujian pada sekolah pemerintah yang lebih tinggi dan pada universitas. Pada waktu itu kelulusan dari sekolah pemerintah dan universitas adalah syarat untuk menduduki berbagai jabatan sipil. Hal ini menyekat masa depan siswa-siswa tamatan sekolah swasta padahal ada kemungkinan ada di antaranya merupakan siswa unggulan yang bisa memimpin bangsa Jepang.
Pada masa ini ada pula kecenderungan guru-guru lebih memperhatikan siswa tertentu dengan berlebihan, terutama siswa yang cerdas dan berasal dari keluarga terpandang (Cummings, 1984: 135).
Menurut Komuro, latar belakang munculnya egalitarian adalah adanya pemikiran bahwa “sabetsu wa subete warui”. Sabetsu ‘diskriminasi’ seperti tersebut di atas dipandang sebagai penghambat dan tidak adil. Adanya pemahaman ini menuntut yang tadinya dibeda-bedakan harus diperlakukan sama, padahal, lanjut Komori, ada kalanya suatu hal itu memang harus diperlakukan berbeda.
3. Pendidikan Pasca PD II
Masa setelah PD II, fasilitas pendidikan di mana-mana sama. Prefektur-prefektur yang terbelakang atau di daerah terpencil pun mendapat fasilitas yang memadai. Demikian pula perlakuan guru terhadap siswa-siswa tidak berat sebelah.
Prubahan itu menurut Cummings (1984: 135) bermacam-macam sebabnya, yaitu: 1) perombakan yang dilakukan oleh pemerintah pendudukan dan undang-undang baru yang mengharuskan diberikannya pendidikan yang sifatnya egalitarian; 2) kebijaksanan pemerintah telah memajukan adanya kesamaan fasilitas; 3) orang tua yang mengutamakan kepentingannya sendiri selalu menuntut perhatian khusus kepada anak-anaknya sehingga mereka menjadi egois, oleh karena itu, para guru lalu berpendapat penyelesaian yang termudah adalah dengan memperlakukan siswa dengan seadil-adilnya; 4) wajib belajar sembilan tahun memungkinkan guru memberikan pendidikan seadil-adilnya, setidaknya selama di sekolah dasar; 5) usaha menjalankan pendidikan yang egalitarian, guru-guru disokong oleh perserikatan guru yang menghendaki masyarakat yang egalitarian.

B. PENDIDIKAN YANG EGALITARIAN
Sistem persekolahan di Jepang pada dasarnya meliputi sekolah dasar (enam tahun), sekolah menengah pertama (tiga tahun), sekolah menengah atas (tiga tahun) dan universitas (empat tahun). Pendidikan bersifat wajib hanya selama sembilan tahun, yaitu enam tahun di sekolah dasar dan tiga tahun di sekolah menengah. Sebanyak 97% siswa meneruskan pendidikannya ke sekolah menengah atas. Untuk masuk sekolah menengah atas dan universitas, siswa harus mengikuti ujian masuk dulu. Di sekolah negeri, selama pendidikan wajib, para siswa bebas uang sekolah dan mendapat buku-buku pelajaran secara gratis. Tapi, mereka membayar biaya makan siang dan uang ekstra kurikuler.
Setelah munculnya konsep pendidikan yang egalitarian ini angka pertumbuhan siswa Jepang yang melanjutkan pendidikan pun meningkat. Siswa SMP yang melanjutkan ke SMA pada tahun 1945 melebihi 50% , tahun 1964 sebanyak 69,3%, tahun 1974 sebanyak 90,8%, dan tahun 1981 sebanyak 94,3%. Dan siswa SMA yang melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi yaitu, pada tahun 1945 sebanyak 10,1%, tahun 1964 sebanyak 19,9%, tahun 1974 sebanyak 34,7%, dan tahun 1976 sebanyak 38,6% (Inagaki, 1984:16).
1. Pendidikan di SD
Anak SD bila memasuki SD negeri maka orang tua hanya dibebani biaya untuk peralatan sekolah yang bisa dibeli sendiri, biaya untuk melakukan penelitian atau biaya untuk piknik serta biaya untuk makan siang yang relatif murah (karena anak sekolah di Jepang sampai sore jadi mereka makan siang di sekolah yang dibuat oleh sekolah dengan mementingkan gizinya walaupun murah. Untuk ini ada guru ahli gizi yang mengawasi dan membuat menunya). Makan siang ini terdiri dari lauk pauk (daging/ ikan/ tahu dll), nasi/ mie/ roti, buah-buahan, sayuran dan minumnya pasti susu dan kadang-kadang ada dessert. Ini setiap sekolah berbeda tapi dasarnya sama.
Anak-anak Jepang masuk kelas satu di sekolah dasar pada bulan April setelah ulang tahun mereka yang ke-6. Mata pelajaran yang mereka pelajari meliputi bahasa Jepang, matematika, sains, ilmu sosial, musik, kerajinan tangan, pendidikan jasmani, dan home economics (belajar ketrampilan memasak dan menjahit yang sederhana). Makin banyak sekolah dasar yang mulai mengajarkan bahasa Inggris juga. Teknologi informasi makin banyak dipakai untuk meningkatkan pendidikan, dan kebanyakan sekolah mempunyai jaringan Internet.
Pendidikan Karir
Pendidikan karir atau dalam bahasa Jepang disebut kyaria kyouiku (キャリア教育) adalah istilah baru. Guru-guru lebih mengenal istilah sinro shidou (進路指導) atau syokugyou kyouiku(職業教育) atau gijutsu syokugyoukyouiku (技術職業教育). Tetapi semuanya memiliki makna yang berbeda, sinro shidou berupa bimbingan tentang kelanjutan setamat sekolah. Syokugyoukyouiku adalah mata pelajaran keahlian yang diberikan di perusahaan. Jadi semacam training yang dikembangkan perusahaan-perusahaan, merekrut anak-anak SMA untuk disiapkan menjadi pekerja di perusahaan bersangkutan. Sedangkan pendidikan karir dimaksudkan untuk merangkum semua pembagian tersebut, jadi lebih luas maknanya.
Monbukagakusho mulai mengenalkan pendidikan karir tahun 2006 lalu dan tahun berikutnya beberapa guru ditraining untuk menerapkannya di sekolah masing-masing.
Pendidikan Karir di SD
Sinro shidou di SD berupa bimbingan tentang kelanjutan setamat sekolah. SMP mana yang layak dimasuki. Seorang guru SD meminta murid kelas 5 untuk mencatat pekerjaan rumah apa saja yang bisa mereka kerjakan sepulang sekolah. Misalnya: mencuci piring, membantu ibu menata makanan di meja makan, melipat selimut sesudah tidur, merapikan baju sepulang sekolah, dll. Di hari yang lain, guru meminta murid-murid menulis apa cita-citanya, berikut menjelaskan apa yang harus dilakukan supaya cita-cita tercapai. Banyak anak SD yang berpendapat bahwa kalau cita-citanya ingin tercapai harus rajin mengerjakan PR .
Dari kedua bentuk tugas itu, anak-anak SD diperkenalkan tentang apa arti “bekerja”. Seorang anak yang ingin menjadi pemain sepak bola menulis: setiap hari saya harus latihan sepak bola 1 jam. Seorang anak yang ingin menjadi komikus mengatakan: saya harus menggambar komik paling tidak satu halaman sehari, sepulang sekolah.
Selain itu, guru juga mengajarkan bahwa dalam bekerja ada kendala. Untuk itu anak-anak diminta mewawancarai kakek dan neneknya untuk menanyakan apa cita-cita mereka ketika kecil dan bagaimana kenyataannya, apakah tercapai atau tidak.
Pendidikan karir di SD bukan merupakan pelajaran khusus, tetapi dimasukkan dalam salah satu tema sougouteki jikan (integrated course), yaitu sekitar 2 jam seminggu. Sehingga sebenarnya tidak ada tambahan mata pelajaran baru di SD. Mata pelajaran di SD Jepang adalah: bahasa Jepang, IPS, aritmetika, IPS, masalah sehari-hari (seikatsu), musik, menggambar, olah raga, dan pendidikan moral, ekstrakurikuler, ditambah integrated course. Integrated course adalah jam khusus untuk mempelajari kebudayaan setempat, kehidupan orang-orang sekitar, lingkungan dan alam. Semacam muatan lokal di setiap sekolah.
Sekalipun baru diperkenalkan dan baru diujicobakan di beberapa SD, beberapa guru mengaku kesulitan meramu materi. Apalagi dengan adanya keputusan melakukan gakuryoku tesuto (ujian nasional), membuat mereka semakin tak jelas bagaimana meningkatkan kemampuan akademik anak dengan penambahan materi tersebut.
Belajar Tata Tertib
Sekolah Dasar di Jepang tiap kelas dari tingkat siswanya berjumlah 40 sampai 45 orang. Hal ini merupakan masalah bagi guru bagaimana membangun suasana tertib di kelas.
Di Jepang, tata tertib yang diajarkan kepada siswanya meliputi kewajiban mengucapkan salam selamat pagi kepada guru, berdiri di sisi bangku kalau sedang berbicara, mendengarkan siswa lain dan guru tanpa berbicara, dan ikut serta dalam kegiatan kelompok (Cummings, 1984: 141).
Selain menerapkan tata tertib kepada siswanya, gurupun ikut menjaganya. Guru juga memberi contoh misalnya dengan penuh perhatian mendengarkan siswanya yang sedang berbicara dan lain-lain.
Belajar Menampilkan Diri
Sekolah dasar di Jepang berusaha agar siswanya tidak takut untuk menampilkan diri secara formal. Sejak hari pertama di sekolahnya, siswa diminta menjawab ketika namanya dipanggil. Untuk saling mengenal di antara siswa, maka ketika siswa sedng berbicara ia diminta untuk berdiri di samping bangkunya sendiri.
Kadang kala ada siswa yang bandel atau lemah dalam berbicara. Untuk menghadapi siswa semacam ini guru juga punya cara untuk melatih mereka supaya mengikuti aturan kelas.
Selain itu, ada kegiatan yang bernama gakugeikai ‘hari sandiwara pendek’. Pada hari ini siswa mementaskan sandiwara di hadapan orang tua mereka yang diundang oleh pihak sekolah. Lakon yang dipilih untuk pentas ini adalah lakon yang bisa meibatkan seluruh siswa di tiap kelas. Disinilah tercipta suasana kerja sama antar siswa.
Pendidikan Moral
Tujuan pendidikan moral di Jepang sebelum dan sesudah PD II berbeda.
Pendidikan moral di sekolah sebelum PD II masih dipengaruhi oleh tujuan pendidikan moral pada zaman Meiji yaitu ditujukan sebagai alat untuk menanamkan nasionalisme, mengajarkan siswa mengenai tanggung jawab, dan mengajarkan kebudayaan serta tradisi Jepang. Sedangkan tujuan pendidikan moral sesudah PD II adalah seperti yang tertulis dalam buku yang diterbitkan oleh Monbusho (1997: 25-28) berikut ini
1) Menumbuhkan spirit atau jiwa hormat terhadap orang lain dan menghargai hidup.
2) Menumbuhkan hati yang kaya.
3) Mendidik manusia yang mampu memelihara dan mengembangkan budaya tradisionalnya.
4) Mendidik manusia mangembangkan negara dan masyarakat yang demokratis.
5) Mendidik manusia yang berkontribusi terhadap pengwujudan masyarakat dunia yang damai.
6) Mendidik manusia Jepang yang membuka masa depan dengan memiliki subjektifitas (bertanggung jawab terhadap keinginan dan penilaiannya sendiri).
7) Menumbuhkan moralitas.
Dilihat dari tujuh materi tujuan pendidikan moral tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan moral pasca PD II di Jepang lebih menitikberatkan pada pendidikan yang bersifat menumbuhkan manusia Jepang yang saling menghormati dan menhargai antar manusia.
Di sekolah dasar, pelaksanaan pendidikan moral contohnya seperti berikut ini.
Anak kelas 1 SD diajari tentang perilaku kecil yg sehari-hari mereka temukan di lingkungannya, misalnya apa yang harus dilakukan jika mereka sedang bermain, dan memecahkan jendela tetangga? Segera minta maaf, tidak boleh lari dari tanggung jawab. Contoh lain jika mendapati hewan terperangkap di dalam ruangan maka harus segera membuka pintu atau jendela untuk meloloskan mereka. Bahan bacaan sangat sederhana dan ditulis dengan huruf katakana, dilengkapi dengan gambar yg menarik dan berupa cerita dengan beberapa tokoh. Ketika membaca itu seolah-olah anak digiring untuk menjadi pelaku utama dalam cerita.
Buku pendidikan moral yang dipakai adalah buku yang disusun oleh monbukagakusho sejak 10-20 tahun yang lalu. Judul buku juga dibuat menarik. Tidak seperti di Indonesia buku PPKn tentu berjudul sama, PPKn. Tapi di Jepang judul buku disesuaikan dengan isinya. Misalnya untuk kelas 3 SD judul buku adalah “Bagaimana menjaga keselamatan pribadi” (Jibun no Ansin).
Isi buku secara garis besar adalah bagaimana berperilaku di jalan, di dalam kendaraan umum. Apa saja permainan yang aman di dalam kelas ketika hari hujan. Bagaimana mereka berangkat dan pulang sekolah dengan aman. Perbuatan apa yg tidak boleh dilakukan di tempat umum yang akan mengganggu orang lain. Atau ada juga buku lain yaitu Minna no Doutoku. Isinya berupa cerita-cerita sederhana mengenai kehidupan sehari-hari seperti bagaimana cara meminta tolong kepada orang tua dengan menggunakan bahasa yang baik.
Satu lagi buku pendidikan moral yang digunakan adalah buku Kokoro no no-to (心のノート)Catatan hati’, yaitu buku suplemen yang disiapkan oleh Monbukagakusho sejak April 200 dengan tujuan utama sebagai pelengkap pembelajaran moral di sekolah. Pemakaian buku ini tidak bersifat wajib bagi setiap sekolah tetapi dianjurkan secara nasional untuk SD dan SMP.
Guru-guru di sekolah merasa terbantu dengan buku ini karena melalui buku ini mereka dapat mengetahui perkembangan psikologis anak, keinginan anak, masalah anak, yang merupakan informasi penting bagi mereka untuk mendidik anak satu per satu.
Materi yang ada dalam buku ini adalah hal sederhana dan nyata. Misalnya saja cuplikan isi buku kokoro no no-to kelas 1-2 SD mengenai pokok materi yang harus diajarkan kepada anak kelas 1 (anak kelas 1 SD belum bisa baca kanji, sehingga penjelasan dalam buku ditulis dalam hiragana atau katakana).
ゆうぐをつかうときのきまり:あんぜんだいいち、じゅんばんをまもる、ゆずりあって
Peraturan ketika memakai playground: keselematan adalah nomor satu, secara bergilir, saling berbagi (give and take).
こうえんのきまり:きちんとあとしまつ、よごさないように、みんなでなかよく
(Peraturan di kelas/ taman: harus merapikan kembali, tidak membuat kotor, harus baik kepada sesama teman)
トイレのきまり:じゅんばんをまもる、きちんとあとしまつ、よごさないように
(Peraturan menggunakan toilet: harus bergilir, harus rapih dan bersih kembali, tidak mengotori)
Selama satu tahun belajar, semua materi itu diajarkan tidak hanya dalam mata pelajaran moral tetapi diajarkan dalam mata pelajaran yang lain, juga dalam aktifitas sehari-hari di sekolah.
2. Pendidikan di SMP
Masuk ke SMP negeri di Jepang milik pemerintah daerah masing-masing, adalah gratis dan tanpa tes. Siapapun, anak-anak wajib masuk ke sekolah sampai jenjang SMP (wajib belajar 9 tahun). Ada pun bila ingin masuk SMP swasta maka ini tergantung sekolahnya, bila SMP yang bagus maka tesnya pun lumayan berat dan biayanya pun amat sangat mahal. Bila ingin masuk SMP milik pemerintah pusat Jepang, siswa harus mengikuti tes yang sangat sulit. Bisaanya hanya anak-anak yang pintar saja yang bisa masuk ke sekolah-sekolah tersebut.
Selama sekolah di SMP, ada tiga macam tes. Tapi bukan tes untuk kenaikan kelas. Karena selama di SMP tidak ada yang tidak naik kelas. Semuanya naik setiap tahunnya. Tes tersebut yaitu tes kemapuan diri sendiri (jitsuryoku) yang dilakukan setiap habis liburan, tes pertengahan (chukan testo) dan tes akhir (kimatsu testo).
Hoomroom
Tiap tahun siswa baru SMP dibagi dalam berbagai kelas hoomroom. Tiap kelas hoomroom terdiri dari 40 orang siswa. Selama mengikuti pendidikan sebagian besar waktu siswa dihabiskan dalam hoomroom ini. Setiap homeroom ada guru hoomroomnya. Setiap satu minggu sekali guru hoomroom berkumpul dengan siswanya. Guru ini juga dapat dihubungi sewaktu-waktu apabila siswa ingin mengkonsultasikan suatu masalah.
Setiap hoomroom yang ada menunjuk seorang wakil untuk duduk dalam organisasi siswa. Organisasi ini setiap tahun mengadakan berabgai kegiatan antar siswa seperti mengadakan pertandingan baseball atau softball dengan siswa dari hoomroom lain.
Klub-klub Siswa
Hampir semua siswa sekolah menengah pertama ikut dalam kegiatan klub ekstra-kurikuler pilihan mereka, seperti ikut tim olahraga, grup musik atau seni, atau klub sains.
Klub bisbol sangat populer di kalangan anak laki-laki. Klub sepak bola juga makin populer sejak Jepang menjadi tuan rumah Piala Dunia FIFA 2002 bersama Republik Korea. Baik anak laki-laki maupun anak perempuan tertarik bergabung dalam klub judo, di mana mereka berlatih seni bela-diri tradisional ini. Mungkin mereka terilhami oleh banyak atlit judo Jepang yang hebat, baik pria maupun wanita, yang telah memenangkan medali pada Kejuaraan Dunia Judo dan Olimpiade. Klub olahraga yang populer lainnya adalah klub tenis, bola basket, gimnastik (senam), dan bola voli. Banyak pertandingan diadakan antar sekolah dan pada tingkat regional untuk masing-masing cabang olahraga, dengan demikian para siswa mendapat banyak kesempatan untuk bertanding.
Sementara itu, di antara klub-klub kebudayaan, ada klub yang semakin populer, yaitu klub go. Go adalah permainan papan yang bersifat strategis, dimainkan dengan butiran batu pipih berwarna hitam dan putih. Begitu sebuah manga (komik) mengenai permainan go diterbitkan, makin banyak anak sekolah yang mulai menikmati permainan go. Pilihan lainnya bagi siswa adalah mengikuti paduan suara dan klub seni. Klub brass-band, upacara minum teh, dan seni merangkai bunga, juga populer.
Pendidikan Moral di SMP
Seperti telah penulis utarakan pada bagian pendidikan moral di SD, bahwa di SMP pun digunkan buku suplemen moral Kokoro no No-to. Materi buku Kokoro no No-to untuk SMP berisi ajakan untuk mengenali diri sendiri, memikirkan orang lain, masyarakat di sekitarnya, anak-anak tak mampu di negara lain, dan ajakan untuk berfikir apa yang mereka bisa kerjakan untuk membantu orang lain.
Isi buku ini sangat menekankan kepada anak untuk berekspresi lebih, tidak dituntun terus oleh gurunya. Penampilan buku yang full color dan berwarna pastel menyejukkan, dan membuat yang membacanya pun senang.
3. Pendidikan di SMA
SMA adalah sekolah yang diperuntukkan buat murid yang telah lulus SMP. Di Jepang lebih dari 90% orang melanjutkan ke SMA. Untuk masuk SMA kita perlu menempuh ujian. Ada juga SMA yang memberlakukan sistem pejajakan bakat. Anak yang bukan lulusan SMP Jepang, kalau diakui mempunyai kemampuan yang setara bisa mengikuti ujian masuk SMA .
Ada berbagai macam SMA. Menurut isi pelajaran terbagi menjadi jurusan bisaa, jurusan specialis (jurusan industri, jurusan perniagaan, jurusam pertanian,jurusan bahasa asing) dan jurusan umum. Menurut jam mengikuti pelajaran terbagi menjadi sistem sehari penuh(siang hari), sistem jam-jam tertentu dan sistem dimana pelajaran diikuti secara jarah jauh di rumah atau tempat lain. Selain tersebut di atas ada juga SMA dengan tipe yang lain. Disamping itu ada juga SMA yang menyediakan tempat khusus buat orang asing.
Untuk masuk SMA harus mengikuti tes, dan masuk SMA tidak lagi gratis, harus bayar SPP, uang pangkal dan sebagainya. Anak-anak yang ingin melanjutkan ke SMA harus mempersiapkan diri mengikuti tes dan berharap bisa masuk ke SMA negri yang bagus karena bayarannya yang lebih murah. Untuk itu mulai di kelas dua SMP mereka telah mendapatkan kartu nilai prestasi (bukan raport). Dan hasil prestasinya dipantau oleh guru dan orang tua. Untuk masuk ke SMA perlu tes semua pelajaran, tes kimatsu yang terakhir (kelas 3 SMP) dan juga nilai perilaku (ini juga mempengaruhi seorang anak bisa masuk SMA atau tidak). Yang bisa mempermudah seseorang masuk SMA, bila mempunyai prestasi dibidang ekstrakurikuler, misalnya sepak bola, base ball, musik dan sebagainya.
Dalam memantau prestasi anak di skeolah guru bekerja sama dengan orang tua. Mereka selalu mengadakan sesamendang (dialog). Terutama di kelas 3 bisa sampai 3 kali dalam setahun. Dan dalam sesamendan yang terakhir di kelas 3 telah diputuskan pilihan SMA mana yang akan diambil. Setiap anak telah memilih 2 SMA, sesuai dengan kemampuannya dilihat dari hasil kartu prestasi. Tes dilakukan secara serentak seluruh Jepang. Jadi bila anaknya sedang-sedang saja kemampuannya ya gurunya menganjurkan untuk memilih SMA yang kategori B, bila pintar maka dianjurkan ambil SMA kategori A dst.
Kegiatan sekolah dimulai dari pukul 8.15 pagi, telah masuk ke pelajaran pertama. Selesai sekitar jam 3-4 setiap harinya. Makan di sekolah yang telah disediakan oleh pihak sekolah. Setelah selesai pelajaran, setiap hari sebelum pulang mereka membersihkan ruangan masing-masing bersama-sama dengan gurunya. Baru setelah itu mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Mulai dari olahraga (basket, base ball, volley dsb), musik, melukis, dan beberapa ekskul lainnya. Bisaanya pulang ke rumah sampai jam 7-8 malam. Hal ini dilakukan hampir setiap hari. Untuk kegiatan ektrakurikuler ini ditarik bayaran sesuai dengan kebutuhan. Misalnya baju seragam olahraga, sepatu, dan lain-lain.
Mata pelajarannya yang dipelajari di SMA terdiri dari bahasa Inggris (eigo), IPS (shakai), IPA (rika), bahasa Jepang (kukogo), olah raga (taiiku), musik (on’gaku), matematika (sugaku), dan kesenian (keterampilan, mulai dari menjahit, memasak, membuat rak buku dsb).
4. Kebijakan dan Evaluasi Sekolah
Kebijakan pendidikan bisaanya merupakan rumusan solusi sebuah permasalahan di bidang pendidikan atau upaya untuk memperbaiki status pendidikan yang memungkinkan perbaikan. Kebijakan lahir dari hasil rembukan, perenungan para pembuat kebijakan dengan melihat fakta yang terjadi di lapang. Atau ada juga kebijakan yang disusun berdasarkan permintaan lembaga donor.
Tapi tak jarang pula kebijakan justru muncul dari pelaksanaan yang sudah berjalan di sekolah. Saya mengamati fenomena ini di dunia pendidikan Jepang. Ada beberapa kebijakan yang bersumber dari model yang sudah dikembangkan di sebuah sekolah atas inisiatif sekolah bersangkutan, kemudian Kementerian Pendidikan menetapkannya sebagai model nasional.
Ada 3 kebijakan yang saya amati :
1. Gakkou jiko hyouka (学校自己評価)
2. Sansya kyougikai (三者協議会)
3Gakkou fouramu (学校フォーラム)
Gakkou jiko hyouka adalah sistem evaluasi mandiri sekolah yang dilaksanakan di beberapa sekolah di Jepang sebelum keluar kebijakan gakkou hyouka dari Kementrian Pendidikan (Monbukagakusho). Beberapa sekolah di Takahama shi telah mempunyai dan melaksanakan sistem evaluasi mandiri, demikian pula beberapa sekolah di Hokkaido. Adapun Monbukagakusho menetapkan kebijakan ini di tahun 2002, sedangkan sekolah-sekolah itu sudah mulai melaksanakannya sejak tahun 90-an. Monbukagakusho menyebut kebijakan ini dengan istilah gakkou no jiko tenken/hyouka (学校の自己点検・評価). Ada beberapa komponen yang dievaluasi yaitu teknik mengajar guru, fasilitas dan perlengkapan kelas/sekolah, kegiatan ekstra, pelayanan administrasi, materi pelajaran, dll. Ada dua jenis evaluasi yang sekarang dikembangkan di beberapa sekolah yaitu : gakkou naibu hyouka (学校内部評価)= evaluasi internal sekolah dan gakkou gaibu hyouka (学校外部評価)= evaluasi eksternal sekolah.
Kebijakan kedua adalah sansya kyougikai (rapat siswa, guru dan orang tua). Tahun 1997 kegiatan ini sudah dimulai di SMA Tatsuno Nagano. Sebelumnya organisasi yang dikenal di beberapa sekolah adalah PTA (Parent Teacher Association), tetapi kemudian perkumpulan ini diperluas keanggotaanya dengan melibatkan siswa. Di SMA Tatsuno sansyakyougikai dilakukan 3 kali dalam satu tahun ajaran yaitu pada bulan Mei, September dan Januari. Sebelum ditetapkan oleh Monbukagakusho sebagai kebijakan nasional, beberapa sekolah bahkan staf the board of education telah berkunjung ke SMA Tatsuno untuk belajar mengenai perkumpulan ini. Rapat tiga serangkai ini berisikan masalah intern sekolah yang tujuan utamanya adalah perbaikan mutu belajar mengajar di sekolah. Model ini telah meluas di seantero Jepang.
Kebijakan ketiga adalah forum sekolah yang berupaya melibatkan masyarakat dalam kegiatan sekolah dan atau melibatkan sekolah (siswa) dalam kegiatan masyarakat. Gakkou fouramu pertama kali diselenggarakan oleh SMA Tatsuno, Nagano pada tahun 1998. Forum ini dihadiri oleh guru, PTA, siswa, dan perwakilan masyarakat, atau perwakilan pejabat pemerintah setempat. Banyak kebijakan yang keluar dari forum ini yang membawa kepada atmosfer kerjasama yang baik antara sekolah dan masyarakat. Monbukagakusho kemudian mengembangkan kebijakan gakkou hyougin seido (school committee) dan juga community school, yaitu kebijakan yang mendorong partisipasi masyarakat ke dunia pendidikan secara langsung. Gakkou fouramu sudah dijadikan model pengembangan sekolah oleh hampir semua SMA di Nagano, dan beberapa prefecture pun telah menerapkannya.

1 comment: